Wednesday, March 7, 2007

Hidupmu BUKAN Milikmu



(Permenungan dalam perjalanan di gerbang dua puluh lima)

Permenungan ini berawal dari ketika saya mengetahui pengalaman iman seorang insan yang juga mengalami dan melakukan hal yang sama seperti apa yang sedang saya lakukan. Ternyata semua hal dan semua cara bisa saja menjadi sebuah cermin kecil yang tanpa kita sadari dapat memantulkan apa yang ada maupun yang sedang terjadi pada diri setiap orang. Cermin kecil yang jujur dan tulus adalah bukti dari kenyataan yang ada. Siapapun tidak dapat bersembunyi dibalik wajahnya yang bening. Cermin kecil tersebut akan memantulkan apa saja yang sedang berada di depannya, dan dia tidak akan pernah bosan bahkan muak untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Hanya kedegilan dan kerasnya hati manusia yang akan mampu menghentikan kejujuran yang dipantulkannya.

Sewaktu saya melihat apa yang dilakukan oleh insan lain, ketika dia telah mengalami proses yang sama dalam cermin kecil tersebut, hal inilah jugalah yang menjadi dasar permenungan yang timbul bagi saya. Apakah saya juga akan mengalami hal yang sama? Ternyata tanpa saya sadari hati ini terus menuntun saya untuk dapat bertemu dengan sang cermin tersebut. “Apa yah kira-kira yang akan diungkapkan oleh cermin tersebut sandainya saya berdiri di depannya?” Begitulah dialog yang penuh tanya jawab terus-menerus muncul di dalam hati saya.

Perasaan yang cemas dan gundah terus menyelimuti, seolah-olah saya tidak bisa menenangkan diri agar menjadi biasa seperti awalnya. Perasaan ini terus datang dan berjalan menghampiri, bahkan perasaan ini semakin terasa katika hari-hari yang telah saya nanti-nantikan akan tiba. Sungguh, perasaan ini sangat berbeda dari waktu-waktu sebelumnya yang pernah saya alami dan lewati. Seolah-olah ada dorongan kuat dalam perasaan yang baru, yang membuat diriku tidak akan puas dan tenang jikalau tidak bertemu dengan sang cermin tersebut.

Saya mempersiapkan diri dan mencoba untuk tetap tenang dalam melalui semua aktifitas dan persiapan-persiapan yang telah saya rancang sebelumnya. Dengan sangat hati-hati saya mencoba mengumpulkan semua cita-cita dan harapan. Tanpa harus diketahui oleh orang lain, diam-diam saya pun menyimpan semua harapan itu di dalam mimpi saya, dengan tekad bahwa semua mimpi itu akan dapat saya wujudkan.

Tanpa terasa waktu yang dinanti-nanti pun hampir tiba. Jantung saya semakin berdetak kencang seperti alunan musik hard techno yang dimainkan band Slipknot, salah satu band musik cadas yang menyenangi aliran musik keras di Amrik. Bahkan seluruh adrenalin dalam tubuh saya juga terus meningkat, saling berpacu dan mengejar kebisuan di setiap sel pada seluruh tubuh saya. Perasaan yang ada bercampur dalam semua rasa dan warna, yang membuat saya jadi teringat ketika saya pernah merasakan nikmatnya racikan jus martabe. Jus ini adalah salah satu jus andalan yang ada di salah satu hotel bertaraf internasional di kota Medan, dan jus tersebut juga menjadi menu spesial yang selalu ditawarkan kepada setiap pengunjung yang ingin mencari rasa dan warna yang baru.

Hingga saat ini saya belum tahu mengapa jus ini dinamakan Martabe? Apakah karena jus ini pernah menjadi kesenangan Raja Inal Siregar, Gubernur yang pernah memerintah di Sumatera Utara, yang mencetuskan program Martabe (singkatan dari: Marsipature hutana be) yang artinya setiap warga masyarakat SUMUT yang berbakti haruslah membangun kampungnya masing-masing. Atau, mungkin jus ini muncul dan terkenal pada saat program tersebut dicanangkan. Atau juga karena warna dan rasa jus Martabe yang bercampur adalah menggambarkan penduduk SUMUT yang heterogen juga? Ah, sudahlah,  yang pasti saya tidak tahu. Semoga kelak ada waktu yang pas bagi saya untuk mencari tahu tentang jus itu. Atau, mungkin ada lagi orang yang berbaik hati mengajak saya untuk merasakan nikmatnya jus Martabe dan menjelaskan asal-usulnya pada saya.

Sangat sulit sekali menggambarkan bagaimana wujud asli dari rasa dan warna yang bercampur dalam sukmaku. Akan tetapi, hanya satu ekspresi yang dapat saya lakukan, bersyukur. Ya, hanya bersyukur. Dengan pasti saya mencoba manarik nafas pelan-pelan dan menikmati setiap oksigen yang masuk dan mengalir bersama darah saya ke seluruh tubuh, sambil berbaur dan akhirnya melebur dalam cerita dan hangatnya suasana malam bersama keluarga.

By the way, sang waktupun datang dan semakin mendekatkan tubuhnya pada saya. Perlahan saya mencoba menghindar sejenak, mengalihkan perhatian saya pada interaksi yang penuh canda dan tawa. Tetapi, perasaan itu justru semakin membuat saya gamang, dan tidak tahu apa yang terjadi di dalam diri saya. Akhirnya, saya mengalah dan tunduk dalam gelora jiwa yang dengan leluasa menyeret saya untuk berdiam sejenak.

Sejenak mataku melirik ke jam dinding yang terus tersenyum dan penuh tanggung jawab mengingatkan angka-angka yang dimilikinya. Seolah-olah dia ingin menyampaikan sebuah pesan, dan tahu tentang hal apa yang akan terjadi padaku. Akhirnya mataku tertuju pada pintu kamarku, yang tetap terbuka walaupun tertutup oleh gordyn berwarna biru, warna keagungan dalam sebuah simbol organisasi yang pernah memberikan kenangan yang sangat luar biasa dalam diary kebanggaanku. Masa muda yang sempurna dan penuh dengan suka duka. Pengalaman hidup dalam dunia organisasi mahasisawa yang telah memberikan asam dan garam yang cukup dalam perkembangan dan perjalanan hidup selama saya memikul status sebagai mahasiswa pada sebuah lembaga pendidikan teologi.

Dengan tegar saya berdiri dan melangkah, berjalan menuju kamar yang sejak tadi juga sepertinya terus memanggil-manggil. Saya pun menarik nafas sedalam-dalamnya dan mencoba tenang. Kemudian, Kulayangkan mataku pada setiap sudut kamar, dan akhirnya berhenti tepat pada posisi cermin yang menyatu dengan lemari pakaianku. Jantungku sejenak berhenti dan berteriak: “Aku belum siap!!” Kukedipkan mata, berharap semua suasana dapat kembali normal seperti biasanya. Tanpa kusadari hatikupun sedih, seakan-akan merayu mataku untuk mengeluarkan tetesan air tanpa harus menangis.

Perlahan-lahan hatiku berbicara dan mengajakku untuk tenang: “edy, sudah siapkah engkau?” Tanpa pikir panjang kuyakinkan diriku untuk tetap tenang dan mencoba memancarkan senyum pada seluruh isi kamarku. Tetapi tiba-tiba kakiku lunglai seperti kekeringan sum-sum dan bertekuk di lantai. Tanpa kuasa akhirnya mataku meneteskan air yang bening, wah!! ternyata akupun menangis. Aku merasakan seperti disekap dalam naungan kuasa-Nya yang dahsyat. Penuh kuasa pada setiap perkataan dan pesan yang Ia tuliskan dalam diary The Golden Rule yang dijadikan oleh umat-Nya sebagai sumber dari kepastian jalan, kebenaran dan hidup. Sapaan itu serasa sengatan petir yang berkilau menyambar-nyambar dan meluluhlantahkan seluruh tubuhku yang nista.  

Mataku tertuju pada jemari yang menuntunku untuk membaca apa yang Ia sampaikan padaku. Dengan lembut dan hangatnya belaian dalam setiap ucapan-Nya, semakin membuatku tidak mampu berkata-kata. Tetapi ajaibnya, kedua tangan-Nya memegang wajahku dan tersenyum melihat rautku yang menangis dan lusuh. Aku memberanikan diri untuk berbicara dalam ekspresi jiwa yang bergelora dan sukacita, “Terima kasih Tuhan, Engkau telah menghantarkanku sampai pada gerbang dua pulu lima ini. Kasih-Mu masih masih berkenan menyertai setiap langkah dan perjalanan hidupku.” Sinar-Nya serasa menyelimuti tubuhku dan menghangatkan seluruh sumsum dalam tulangku yang telah keram dan membeku.

Hatikupun bernyanyi, memanjatkan puji-pujian dan madah syukur ke khadirat-Nya. Mazmur dan doa syafaatpun tidak lupa kubisikkan ke telinga-Nya. Harapanku, aku tetap diperkenankannya dapat berjalan dalam menikmati waktu di dunia ini serta bisa membagikan kasih-Nya pada semua mahluk. Harapan dan mimpi-mimpi mengingatkanku kembali untuk mendapat restu dari-Nya, sehingga semua pinta dan asa hanyalah kehendak-Nya. Dengan yakin pada janji-Nya, mulutkupun berucap: “Amin”. Matakupun terbuka dan langsung tertuju pada sang cermin yang sejak tadi telah mengamatiku.

Akhirnya, sang cermin pun berbicara dan menyampaikan pesan untukku: “Selamat ulang tahun edy... Semoga di usiamu yang kedua puluh lima ini, iman, sikap dan perbuatanmu semakin dewasa, serta dapat berbagi untuk sesama, dan ingatlah bahwa hidupmu bukan hanya milikmu”.  Pesan ini juga yang akhirnya mengingatkan saya pada pengalaman iman Kak Helvy Tiana Rosa, seorang insan yang sangat kaya dengan risalah cintanya. Pengalaman imannya benar-benar memberikan ispirasi bagi saya dalam menuliskan permenungan ini. Semoga, ke depan lewat sharing iman dan pengalaman sperti yang kami lakukan ini semakin menumbuhkan kehangatan cinta dan memberikan pencerahan bagi khasanah cinta di bumi pertiwi Indonesia, yang saat ini sedang penuh dengan duka dan nestapa. Semoga.                          


TUHAN MENDENGARKAN SERUAN ORANG PERCAYA

PENDAHULUAN Saudara/i yang terkasih, kita bersyukur atas kasih dan penyertaan Tuhan karena kita masih bisa beribadah bersama pada ming...