(Permenungan dalam perjalanan
di gerbang dua puluh lima)
Permenungan ini berawal dari ketika saya
mengetahui pengalaman iman seorang insan yang juga mengalami dan melakukan hal
yang sama seperti apa yang sedang saya lakukan. Ternyata semua hal dan semua
cara bisa saja menjadi sebuah cermin kecil yang tanpa kita sadari dapat
memantulkan apa yang ada maupun yang sedang terjadi pada diri setiap orang.
Cermin kecil yang jujur dan tulus adalah bukti dari kenyataan yang ada.
Siapapun tidak dapat bersembunyi dibalik wajahnya yang bening. Cermin kecil
tersebut akan memantulkan apa saja yang sedang berada di depannya, dan dia
tidak akan pernah bosan bahkan muak untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
Hanya kedegilan dan kerasnya hati manusia yang akan mampu menghentikan
kejujuran yang dipantulkannya.
Sewaktu saya melihat apa yang dilakukan
oleh insan lain, ketika dia telah mengalami proses yang sama dalam cermin kecil
tersebut, hal inilah jugalah yang menjadi dasar permenungan yang timbul bagi
saya. Apakah saya juga akan mengalami hal yang sama? Ternyata tanpa saya sadari
hati ini terus menuntun saya untuk dapat bertemu dengan sang cermin tersebut. “Apa
yah kira-kira yang akan diungkapkan oleh cermin tersebut sandainya saya berdiri
di depannya?” Begitulah dialog yang penuh tanya jawab terus-menerus muncul di
dalam hati saya.
Perasaan yang cemas dan gundah terus
menyelimuti, seolah-olah saya tidak bisa menenangkan diri agar menjadi biasa
seperti awalnya. Perasaan ini terus datang dan berjalan menghampiri, bahkan perasaan
ini semakin terasa katika hari-hari yang telah saya nanti-nantikan akan tiba. Sungguh,
perasaan ini sangat berbeda dari waktu-waktu sebelumnya yang pernah saya alami
dan lewati. Seolah-olah ada dorongan kuat dalam perasaan yang baru, yang
membuat diriku tidak akan puas dan tenang jikalau tidak bertemu dengan sang
cermin tersebut.
Saya mempersiapkan diri dan mencoba untuk
tetap tenang dalam melalui semua aktifitas dan persiapan-persiapan yang telah
saya rancang sebelumnya. Dengan sangat hati-hati saya mencoba mengumpulkan
semua cita-cita dan harapan. Tanpa harus diketahui oleh orang lain, diam-diam
saya pun menyimpan semua harapan itu di dalam mimpi saya, dengan tekad bahwa
semua mimpi itu akan dapat saya wujudkan.
Tanpa terasa waktu yang dinanti-nanti pun hampir
tiba. Jantung saya semakin berdetak kencang seperti alunan musik hard techno
yang dimainkan band Slipknot, salah satu band musik cadas yang menyenangi
aliran musik keras di Amrik. Bahkan seluruh adrenalin dalam tubuh saya juga
terus meningkat, saling berpacu dan mengejar kebisuan di setiap sel pada seluruh
tubuh saya. Perasaan yang ada bercampur dalam semua rasa dan warna, yang
membuat saya jadi teringat ketika saya pernah merasakan nikmatnya racikan jus
martabe. Jus ini adalah salah satu jus andalan yang ada di salah satu hotel bertaraf
internasional di kota Medan, dan jus tersebut juga menjadi menu spesial yang
selalu ditawarkan kepada setiap pengunjung yang ingin mencari rasa dan warna
yang baru.
Hingga saat ini saya belum tahu mengapa jus
ini dinamakan Martabe? Apakah karena jus ini pernah menjadi kesenangan Raja
Inal Siregar, Gubernur yang pernah memerintah di Sumatera Utara, yang
mencetuskan program Martabe (singkatan dari: Marsipature hutana be) yang
artinya setiap warga masyarakat SUMUT yang berbakti haruslah membangun kampungnya
masing-masing. Atau, mungkin jus ini muncul dan terkenal pada saat program
tersebut dicanangkan. Atau juga karena warna dan rasa jus Martabe yang bercampur
adalah menggambarkan penduduk SUMUT yang heterogen juga? Ah, sudahlah, yang pasti saya tidak tahu. Semoga kelak ada
waktu yang pas bagi saya untuk mencari tahu tentang jus itu. Atau, mungkin ada
lagi orang yang berbaik hati mengajak saya untuk merasakan nikmatnya jus
Martabe dan menjelaskan asal-usulnya pada saya.
Sangat sulit sekali menggambarkan bagaimana
wujud asli dari rasa dan warna yang bercampur dalam sukmaku. Akan tetapi, hanya
satu ekspresi yang dapat saya lakukan, bersyukur. Ya, hanya bersyukur. Dengan
pasti saya mencoba manarik nafas pelan-pelan dan menikmati setiap oksigen yang
masuk dan mengalir bersama darah saya ke seluruh tubuh, sambil berbaur dan
akhirnya melebur dalam cerita dan hangatnya suasana malam bersama keluarga.
By the way, sang waktupun datang dan semakin
mendekatkan tubuhnya pada saya. Perlahan saya mencoba menghindar sejenak,
mengalihkan perhatian saya pada interaksi yang penuh canda dan tawa. Tetapi,
perasaan itu justru semakin membuat saya gamang, dan tidak tahu apa yang
terjadi di dalam diri saya. Akhirnya, saya mengalah dan tunduk dalam gelora jiwa
yang dengan leluasa menyeret saya untuk berdiam sejenak.
Sejenak mataku melirik ke jam dinding yang
terus tersenyum dan penuh tanggung jawab mengingatkan angka-angka yang
dimilikinya. Seolah-olah dia ingin menyampaikan sebuah pesan, dan tahu tentang hal
apa yang akan terjadi padaku. Akhirnya mataku tertuju pada pintu kamarku, yang
tetap terbuka walaupun tertutup oleh gordyn berwarna biru, warna keagungan
dalam sebuah simbol organisasi yang pernah memberikan kenangan yang sangat luar
biasa dalam diary kebanggaanku. Masa muda yang sempurna dan penuh dengan suka
duka. Pengalaman hidup dalam dunia organisasi mahasisawa yang telah memberikan asam
dan garam yang cukup dalam perkembangan dan perjalanan hidup selama saya memikul
status sebagai mahasiswa pada sebuah lembaga pendidikan teologi.
Dengan tegar saya berdiri dan melangkah,
berjalan menuju kamar yang sejak tadi juga sepertinya terus memanggil-manggil.
Saya pun menarik nafas sedalam-dalamnya dan mencoba tenang. Kemudian, Kulayangkan
mataku pada setiap sudut kamar, dan akhirnya berhenti tepat pada posisi cermin
yang menyatu dengan lemari pakaianku. Jantungku sejenak berhenti dan berteriak:
“Aku belum siap!!” Kukedipkan mata, berharap semua suasana dapat kembali normal
seperti biasanya. Tanpa kusadari hatikupun sedih, seakan-akan merayu mataku
untuk mengeluarkan tetesan air tanpa harus menangis.
Perlahan-lahan hatiku berbicara dan mengajakku
untuk tenang: “edy, sudah siapkah engkau?” Tanpa pikir panjang kuyakinkan
diriku untuk tetap tenang dan mencoba memancarkan senyum pada seluruh isi
kamarku. Tetapi tiba-tiba kakiku lunglai seperti kekeringan sum-sum dan
bertekuk di lantai. Tanpa kuasa akhirnya mataku meneteskan air yang bening,
wah!! ternyata akupun menangis. Aku merasakan seperti disekap dalam naungan
kuasa-Nya yang dahsyat. Penuh kuasa pada setiap perkataan dan pesan yang Ia
tuliskan dalam diary The Golden Rule yang
dijadikan oleh umat-Nya sebagai sumber dari kepastian jalan, kebenaran dan
hidup. Sapaan itu serasa sengatan petir yang berkilau menyambar-nyambar dan meluluhlantahkan
seluruh tubuhku yang nista.
Mataku tertuju pada jemari yang menuntunku
untuk membaca apa yang Ia sampaikan padaku. Dengan lembut dan hangatnya belaian
dalam setiap ucapan-Nya, semakin membuatku tidak mampu berkata-kata. Tetapi
ajaibnya, kedua tangan-Nya memegang wajahku dan tersenyum melihat rautku yang menangis
dan lusuh. Aku memberanikan diri untuk berbicara dalam ekspresi jiwa yang bergelora
dan sukacita, “Terima kasih Tuhan, Engkau telah menghantarkanku sampai pada
gerbang dua pulu lima ini. Kasih-Mu masih masih berkenan menyertai setiap
langkah dan perjalanan hidupku.” Sinar-Nya serasa menyelimuti tubuhku dan
menghangatkan seluruh sumsum dalam tulangku yang telah keram dan membeku.
Hatikupun bernyanyi, memanjatkan
puji-pujian dan madah syukur ke khadirat-Nya. Mazmur dan doa syafaatpun tidak
lupa kubisikkan ke telinga-Nya. Harapanku, aku tetap diperkenankannya dapat
berjalan dalam menikmati waktu di dunia ini serta bisa membagikan kasih-Nya
pada semua mahluk. Harapan dan mimpi-mimpi mengingatkanku kembali untuk
mendapat restu dari-Nya, sehingga semua pinta dan asa hanyalah kehendak-Nya.
Dengan yakin pada janji-Nya, mulutkupun berucap: “Amin”. Matakupun terbuka dan langsung
tertuju pada sang cermin yang sejak tadi telah mengamatiku.
Akhirnya, sang cermin pun berbicara dan
menyampaikan pesan untukku: “Selamat ulang tahun edy... Semoga di usiamu yang
kedua puluh lima ini, iman, sikap dan perbuatanmu semakin dewasa, serta dapat berbagi
untuk sesama, dan ingatlah bahwa hidupmu bukan hanya milikmu”. Pesan ini juga yang akhirnya mengingatkan
saya pada pengalaman iman Kak Helvy Tiana Rosa, seorang insan yang sangat kaya dengan
risalah cintanya. Pengalaman imannya benar-benar memberikan ispirasi bagi saya
dalam menuliskan permenungan ini. Semoga, ke depan lewat sharing iman dan
pengalaman sperti yang kami lakukan ini semakin menumbuhkan kehangatan cinta
dan memberikan pencerahan bagi khasanah cinta di bumi pertiwi Indonesia, yang saat
ini sedang penuh dengan duka dan nestapa. Semoga.