“Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih
karunia Allah, agar jangan tumbuh akar pahit yang menimbulkan kerusuhan dan
yang mencemarkan banyak orang”
(Ibrani 12:15)
Siapakah yang
pernah mengalami kepahitan? Atau, adakah kita yang sedang mengalami kepahitan? Tak
jarang, ada juga orang yang menyimpan kepahitan bertahun-tahun lamanya. Kepahitan
adalah virus yang mematikan. Ironisnya virus ini sering tidak disadari, bahkan
dipelihara hingga akhirnya virus ini menggerogoti, melumpuhkan dan mematikan orang
yang menyimpan atau memeliharanya.
Peristiwa-peristiwa
negatif yang kita alami seringkali meninggalkan luka yang dalam; bisa jadi itu
penghianatan, penolakan, pertengkaran, pelecehan ataupun perkosaan; bisa juga
penganiayaan, pembunuhan, kecemburuan, perasaan tersinggung yang tak
terselesaikan, dan berbagai hal lainnya. Jika tidak diatasi dengan benar, hal
ini bisa menimbulkan akar pahit yang bisa merusak kesehatan mental dan fisik
kita, juga spiritualitas kita.
Ketika kita terluka,
kita cenderung menyalahkan orang lain untuk membenarkan kebencian, amarah dan
dendam kepada orang yang membuat kita menjadi “korban”. Atau membuat kita
memilih untuk menyembunyikan luka hati itu (akar kepahitan) rapat-rapat dan
berusaha melupakannya. Ini halnya sama dengan menimbun sampah dan kotoran yang
menyebarkan banyak virus dan kuman dalam relasi kita dengan sesama.
Orang yang terluka
mempunyai ingatan yang tajam mengenai persoalan yang menyakitkan hatinya. Dari
luar mereka kelihatan tenang, tetapi di bagian dalam mereka siap untuk
menyemburkan dorongan perasaan yang meledak-ledak. Orang yang terluka menyimpan
dendam mereka secara terus-menerus. Dalam hal inilah perasaan dilukai menjadi sedemikian
dalam sehingga membuat mereka tersingkir dari kebutuhan untuk mengampuni.
Dalam hal inilah,
sebuah kunci diberikan oleh Penulis Surat Ibrani. “jagalah supaya jangan ada
seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar
pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang” (Ibrani
12:15). Agar kita bisa mencegah tumbuhnya akar pahit, kita pun harus senantiasa
melekat erat pada kasih karunia Allah. Bagaimana caranya kita dapat menyadari
kasih Allah? Tidak ada pilihan lain selain saling
mengakui kesalahan, mengampuni dan
Mendoakan! Dengan demikian maka kita akan disembuhkan (Yakobus 5:16).
Mengakui kesalahan,
mengampuni dan mendoakan adalah hal yang sangat berat, bahkan sangat berat! Terlebih
lagi jika kita merasa sebagai “korban”. Bagaimana mungkin kita harus mengampuni
orang yang sudah melukai kita? Atau jika kita merasa tidak berbuat salah, untuk
apa harus meminta maaf? Disinilah terkadang kita justru mengeraskan hati kita. Disinilah
tantangan terberat yang harus dialami oleh setiap orang setiap hari; mengampuni
atau tidak? Seperti halnya doa yang kita ucapkan dalam Doa Bapa kami: ...”Dan ampunilah kesalahan kami, seperti kami
juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami...”
Tuhan Yesus
menegaskan: “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di
sorga akan mengamuni kamu juga. Tetapi
jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu (Matius 6:5-14). Hanya dengan menerima pengampunan dari Tuhan-lah
maka kita akan dimampukan untuk dapat mengampuni sesama. Dengan belajar mengampuni
sesama, maka kita juga akan dimampukan untuk mengikis akar kepahitan dari dalam
hati kita, bahkan mencabutnya. Dengan demikian, kita tidak akan digerogoti lagi
oleh rasa sakit hati, dendam, amarah, kebencian dan luka dalam yang kita alami.
Bagaimana caranya
memaafkan?
Ada cara yang dapat
dilakukan secara praktis untuk dapat mengolah hati, pikiran, emosi serta
perilaku baru. Langkah-langkah berikut sangat baik dilakukan dalam kelompok
konseling.
Mengakui kebutuhan anda untuk disembuhkan
Banyak orang
menganggap sakit hati, dendam dan akar pahit lainnya yang dialami adalah hal
yang biasa dan tidak mau mengakuinya. Jika kita mau sembuh, maka kita harus mau
mengakui dan terbuka untuk sembuh dari kepahitan yang kita alami. Mulailah
bersikap jujur kepada Allah dan carilah seorang teman atau konselor yang bisa
mendengar dan mengerti anda.
Mengakui emosi yang negatif
Banyak peristiwa yang
kita alami sejak kecil. Namun kita tidak diajarkan bagaimana mengenali dan
mengkomunikasikan perasaan kita, sehingga kita menimbun kemarahan, kekecewaan,
dendam, ketakutan, kepahitan, dan emosi negatif lainnya sejak kanak-kanak.
Proses menimbun emosi negatif ini menimbulkan akibat yang tragis. Untuk
memutuskan lingkaran penindasan emosi negatif tersebut, mintalah Tuhan untuk
memampukan anda mengungkapkannya. Carilah teman atau konselor yang mengerti
bisa mengerti anda untuk memberikan dorongan jujur dengan perasaan anda.
Belajar mengampuni
Mengampuni berarti
memaafkan orang lain atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Mengampuni berarti
menunjukkan kasih dan penerimaan, meskipun kita disakiti. Tentu tidak mudah dan
sulit. Tetapi bukan berarti kita tidak dapat melakukannya. Mengampuni sering
sekali merupakan suatu proses dan bukan suatu tindakan ajaib “sekali jadi”. Untuk
itu kita perlu terus-menerus melakukan pengampunan terhadap orang yang melukai
kita. Mengampuni adalah antiseptik bagi luka batin kita. Jika kita percaya dan
sudah menerima pengampunan secara cuma-cuma dari Kristus, maka Tuhan juga
mengharapkan kita memaafkan sesama kita yang bersalah kepada kita.
Akhirnya, menerima maaf adalah
melegakan hati.
Memaafkan diri sendiri adalah sehat.
Memaafkan sesama adalah Ilahi.
Melatih orang memaafkan adalah mulia.
Membantu orang lain menerima
pengampunan Tuhan adalah memberinya hidup kekal.