Tuesday, October 6, 2015

Identitas Kristen menghadapi perubahan zaman: sebuah telaah kritis

”Keber-ada-an kita itu akan terlihat menjadi sebuah identitas yang kuat
dan jelas dalam setiap kualitas warna dan rasa
saat menghadapi setiap perubahan zaman di dunia ini,
jika kita benar-benar dapat menyangkal-diri dalam menjaga identitas kita.”


Pendahuluan
Manusia hanya dapat menjalani perubahan-perubahan dalam setiap proses hidup yang terjadi, dalam artian manusia hanya dapat memikirkan dan memaknai apa saja yang terjadi dan apa dampak dari perubahan yang terjadi. Akan tetapi, bukan dalam arti membatasi kemampuan manusia dalam menghidupi perubahan. Namun, memang itulah keterbatasan manusia yang lahir dan berada dalam titik perubahan yang sedang dan akan terus berlangsung.
 
Manusia berada dalam perubahan zaman yang terus-menerus berkelanjutan. Meng-ada dan menjadi sesuatu yang ber-wujud dalam materi dan nilai-nilai. Perwujudan itu telah menjadi sebuah hakikat dalam pribadi maupun komunitasnya di tengah-tengah dunia ini. Yaitu, hidup bersama-sama dalam nilai-nilai asasi yang disepakati (baik lokal maupun global, walaupun nilai itu juga adalah sebuah proses yang sangat panjang dan penuh pertentangan untuk dilakukan dalam segala sudut pandang), dan bahkan harus memaksa manusia dapat bertahan dalam setiap perubahan yang terjadi. 

Konsekuensi logis ini adalah juga merupakan bagian dari hal yang prinsipil terjadi dalam hidup ke-Kristenan kita. Keyakinan dogmatis dalam iman yang logis telah menjadikan ke-Kristenan menjadi sebuah paguyuban yang sangat besar disepanjang masa. Paguyuban yang lahir secara personal dan hidup dalam konteks plural yang universal untuk dapat melaksanakan misi yang telah dihukumkan sebagai sebuah pilihan dan jawaban atas komitmen setiap orang yang mengikut kebenaran-Nya.

Pada umumnya sekarang ini, pilihan aktif (kesadaran yang penuh untuk percaya melakukan tugas dan kewajiban dengan iman yang benar) maupun pilihan pasif (warisan atau pemberian keluarga dalam tradisi yang telah dimiliki sejak lahir) yang dimiliki oleh setiap orang dalam memperlihatkan identitasnya sebagai seorang Kristen tidak dapat lagi dibedakan. Tidak ada lagi perbedaan signifikan yang dapat diperlihatkan dalam interaksi-interaksi sosial yang muncul di masyarakat kita. Seolah-olah tidak ada lagi perbedaan yang mendasar dapat kita lihat dari setiap orang atau kelompok orang yang menyatakan identitasnya adalah sebagi orang Kristen.[1]

Identitas personal yang muncul sebagai bagian atas kelengkapan hidup pribadi hanyalah sebatas bagian dari proses administratif dalam pengakuan (legal) sebagai warga yang diterima dan tinggal (berada) di suatu tempat atau wilayah. Hal itu pun akan berjalan jika ada inisiatif dari setiap personal untuk meng-aku-kan (menyatakan ada) dirinya dalam wilayah pemukiman tempat yang dituju atau didiami. Sebab, jika tidak terdaftar dalam pencatatan sipil dalam sensus keanggotaan penduduk, maka akan dianggap sebagai penduduk “gelap” atau liar (istilahnya “mahluk asing”). Sehingga tidak jarang orang-orang Kristen juga dianggap sebagai orang yang ”asing” dan ”liar” di beberapa daerah tertentu karena tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Misalnya saja, dalam kasus-kasus yang terjadi beberapa waktu yang telah lewat, dimana orang Kristen yang beribadah haruslah memiliki identitas yang jelas (itupun kalau diterima oleh penduduk setempat) barulah dapat melaksanakan ibadah.

Bahkan hingga saat ini hal yang sangat menghebohkan adalah mengenai surat izin atau surat berbadan hukum yang harus dimiliki oleh sekelompok warga (jemaat) untuk dapat mendirikan bangunan (gedung) gereja-Nya.[2] Hal ini telah menjadi sorotan dan sempat menjadi perdebatan panjang dari kalangan cendikiawan Kristen dan juga oleh pimpinan umat beragama yang ada di Idonesia. Salah satunya seperti apa yang telah diungkapkan oleh Romo Frans Magnis Suseno. Apa yang dikemukakan oleh Romo Magnis dalam hal esensi ibadah dan membangun rumah ibadah adalah hal yang perlu kembali diperhatikan oleh gereja. Sebab, apa yang menjadi misi gereja pada belakangan ini sudah jauh dari esensi dasar panggilannya di tengah-tengah bangsa dan dunia ini. 

Dapat kita lihat, bahwa selama ini kegiatan yang dilakukan hanyalah sebatas seremonial dan pesta-pesta pembangunan yang dibungkus dalam ibadah syukuran. Padahal kalau kita jujur masih banyak sekali umat (jemaat) kita yang masih sangat membutuhkan bantuan, apakah dalam hal kebutuhan pokok, pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, gereja justru dengan semakin egoisnya melaksanakan dan mengkultuskan pestapora sebagai bagian dari ibadah tanpa memikirkan lagi apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan kepada umat.  

Dengan demikian, kita tidak perlu lagi heran dengan kondisi yang terjadi pada gereja sekarang ini. Begitu juga dengan semua identitas kelompok yang ikut meramaikan bagian (komponen) dalam keberadaan bangsa kita saat ini, apakah itu wadah perkumpulan, persatuan, organisasi atau lembaga, maupun partai yang berlindung dan hanya menggunakan salib sebagai tameng (bahkan ada yang menjual identitasnya agar diakui). Semuanya hanyalah menjadi bagian pelengkap dari kemajemukan (bhineka) dan kompleksnya bangsa kita. Sangat jarang, bahkan hampir tidak ada lagi organisasi gerejawi yang tetap setia melakukan tugas dan tanggung jawab dalam misi kasih-Nya. Apalagi terhadap dunia sekitar maupun sosialnya. 

Tidaklah heran jika keber-ada-an dan ke-hadir-an kita mungkin hanya dianggap sebagai pendatang yang tidak perlu dibiarkan berkembang. Bahkan ada gerakan-gerakan ekstrim yang mencoba untuk menghancurkan dan menghilangkan ke-Kristenan dari bumi pertiwi Indonesia karena dianggap sebagai bagian dari bangsa yang kafir. Ini adalah gerakan tersistematis dalam agenda yang terselubung (hidden agenda) yang telah dipersiapkan oleh sekelompok orang-orang ekstrem yang salah dan sesat. Hal yang menjadi catatan penting bagi kita saat ini adalah, apakah kita hanya pasrah dan hanya berdiam saja jika akhirnya identitas kita mengalami kegamangan dan diperlakukan seperti itu? Mengapa hal ini bisa terjadi? Inilah permenungan yang harus segera disadari. Sebab, gejala dan fenomena yang sudah menyerang keberadaan (eksistensia) ke-Kristenan dalam perubahan zaman ini semakin mengaburkan, dan bahkan hampir menghilangkan identitas ke-Kristenan kita.

Saat ini, setiap orang yang mengaku baik, ulama atau nabi, teroris, orang kudus (saleh), bajingan, mafia (mahong), orang tua, anak-anak bisa saja berkata, “Kita harus disiplin, waspada, dan saling membantu.” Setiap orang bisa saja mengatakan apa pun yang baik-baik dan suci. Bahkan, penulis juga pernah melihat ada orang gila yang berdiri di depan umum, dan dengan lantangnya mengatakan hal yang demikian. Apakah karena penampilan atau perawakan dan semua yang diucapkannya, yang membuat penulis berpikir bahwa dia gila, atau memang dia benar-benar gila, sehingga mengucapkan hal yang seperti itu. Sudahlah, saat ini itu tidak penting untuk kita singgung, sebab bisa saja hal itu menjadi suatu sudut pandang yang berbeda.

Akan tetapi, apakah semua tindakan perkataan dan perbuatan itu menjadi sesuatu yang bermakna atau tidak? Akhirnya hal itu bergantung pada siapa yang mengatakannya, dan bagaimana relasi sosok tersebut dengan orang yang melihat atau mendengarnya (menjadi sosiobudaya).[3] Benarkah dengan ucapan dan perbuatan itu telah menjadi bukti atau simbol dari keberadaan identitas ke-Kristenan kita? Hal apa yang dapat kita nyatakan, ataupun perlihatkan dalam keadaan yang sangat sulit seperti sekarang ini? Bagaimana kita dapat meng-aku-kan dan meng-hidupi keberadaan kita sebagai orang-orang Kristen? Identitas apa yang kita nyatakan dalam panggilan ke-Kristenan kita di tengah-tengah bangsa kita yang masih sakit? Apakah kita juga akan menjadi sama seperti yang terjadi dalam perubahan zaman ini?

Mencari identitas dalam benang kusut
Banyak istilah dan simbol-simbol yang mungkin sering dan telah kita pakai, bahkan senantiasa kita ucapkan dalam menggambarkan situasi atau keadaan bangsa kita saat ini. Terlepas apakah itu adalah istilah umum dari apa yang kita lihat dan dengar, ataupun istilah pribadi yang lahir dari refleksi dan ekspresi yang kita nyatakan sebagai bagian dari tanggapan atau respon (sense of belonging) kita dalam menangkap (impresi) setiap permasalahan yang terjadi. Yang pasti, kita masih tetap dan akan terus menggunakan istilah-istilah tersebut sampai kita tidak lagi berada dalam keadaan ataupun suasana yang kita rasakan itu. 

Apakah yang sedang kita cari dalam identitas kita, apakah kita sedang mencari identitas pribadi kita dalam identitas kelompok atau sosial masyarakat ini? Benarkah identitas pribadi kita saat ini sudah mencerminkan identitas kelompok masyarakat kita? Atau sebaliknya, identitas kelompok dalam sosial masyarakat kita adalah gambaran dari identitas pribadi kita? Melihat kondisi dan situasi yang terjadi pada wajah bangsa kita sekarang ini, mungkin banyak yang tidak setuju dengan opsi yang ditawarkan tersebut. Sebab, mungkin kedua gambaran itu belum dapat dijadikan sebagai patokan untuk dapat mengukur atau mengklaim identitas yang kita miliki. Penulis bersyukur dan bangga sekali, dengan ketidaksetujuan itu, ternyata masih ada keyakinan yang tertanam dalam kepribadian kita.

Hal yang pasti dan dapat kita rasakan saat ini adalah adanya masa transisi yang sedang terjadi pada setiap aras hidup bangsa kita. Ada fase metamorfosis yang sedang berproses dalam paradigma dan prakarsa. Perubahan wujud menuju kesempurnaan bentuk (metamorfosis) yang berlaku juga tidak terlepas dari kemauan (yang muncul dari dalam kesadaran diri) dan antusias dari setiap orang yang ingin merasakan dan melakukan perubahan itu sendiri. 

Misalnya, hal itu dapat kita lihat dari carut-marutnya sistem pendidikan nasional dalam dunia pendidikan formal yang terjadi pada bangsa kita. Kebudayaan bangsa Indonesia yang sangat kaya dan tidak terawat pun akhirnya dicuri oleh bangsa asing. Belum lagi masa transisi bidang perekonomian nasional kita yang juga masih dalam lingkaran krisis (mungkin entah sampai kapan) yang membuat bangsa kita terus mengalami krisis bahan pangan,[4]kemudian disusul lagi dari peristiwa terkuaknya misteri sang mafia hukum dan peradilan kita (korupsi di tingkat kejaksaan dan komisi judisial, hingga direktorat jendral pajak) yang telah terbongkar (walaupun masih sebagian). Serta runtuhnya manajemen dan konstruksi sistem perhubungan kita, baik darat, laut maupun udara, yang akhirnya menimbulkan trauma yang sangat, dalam kanyamanan sarana dan infrastruktur tranportasi kita di tahun 2007 yang lalu. 

Semua hal ini membuktikan bahwa kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya bangsa kita sudah sangat rapuh. Hal itu juga akan segera mengakibatkan erosi dan keruntuhan yang sangat hebat jika kita semua sebagai bagian dari warga masyarakat tidak segera mengantisipasinya. Para pemimpin bangsa, baik para negarawan dan kaum-kaum intelektual yang muncul dari balik topeng partai yang ada, hanya mampu berkata-kata dalam memberikan pengamatan terhadap bangsa ini. Rumusan-rumusan asing pun dipakai untuk dapat membuat masyarakat bawah (awam) menjadi bingung dan tidak perlu banyak berkomentar seperti iklan dalam media televisi yang sering kita lihat, “Orang muda tidak boleh bicara!”. 

Mereka semua sangat “pandai” bahkan sangat “mahir” memberikan penilaian dan kritik terhadap bangsa ini, mulai dari kritik pedas alias kritik politik sebagai sikap atas partai oposisi – walaupun menurut penulis yang muncul bukanlah sikap oposisi, akan tetapi ketidakdewasan dan politik naïf yang terus dipertontonkan - hingga kritik yang manis dan mengenyangkan perut dengan tawa yang dibungkus dalam sebuah sekenario parodi. Slogan dan jargon-jargon yang muncul hanyalah sebagai alat untuk menjual keadaan dan penderitaan bangsa kita. Bahkan, hal yang membuat heboh lagi adalah, identitas ke-Kristenan kita juga - baik institusi atau lembaga keagamaan maupun juga partai - ternyata ikut melakukan hal yang sama.

Mau tidak mau, kondisi ini harus dapat dikendalikan dan diarahkan, seperti yang telah dikemukakan oleh Sindhunata, bahwa saat ini politik kita sangatlah dituntut untuk menjadi semakin intelijen. Menjadi intelijen, berarti politik harus menjadi seni yang bisa menjadikan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dalam artian, kita juga dituntut untuk membuat politik menjadi akal dan taktik manusia dalam mengalahkan nasib. Maksudnya, dengan kepandaian dan intelijensinya, politik harus bisa membawa kita kepada kreativitas manusia yang mampu mengatasi segala kekuatan irasional yang kelihatannya tidak dapat ditaklukkan dan menindas kita, entah itu egoisme, partikularisme, sektarianisme, primordialisme, bahkan fatalisme yang datang dari kedahsyatan alam.[5]

Derita apa lagikah yang harus terjadi dan yang akan menimpa setiap warga masyarakat kita, supaya hal itu dapat membuktikan bahwa bangsa kita sudah dalam kondisi yang sedang sakit dan sangat akut? Haruskah banyak lagi korban yang akan terjatuh, hingga menggemparkan status ataupun identitas bangsa kita? Bagaimana kita dapat mengatakan identitas pribadi dan bangsa kita adalah identitas yang berakhlak dan berbudi luhur? Atau, ternyata kita membenarkan dan menerima dengan pasrah apa yang diungkapkan oleh para “pemerhati” (walaupun mereka ternyata tidak punya hati) bangsa kita, bahwa kondisi kita sekarang ini seperti benang yang kusut, dan juga seperti berada dalam cengkraman sang iblis dunia?

Terseret dan terbuang oleh zaman: langkah yang semakin redup
Belajar dari kondisi yang ada, maka sekarang kita akan sampai pada pengalaman iman dan kesaksian yang disampaikan oleh para Hakim-hakim dalam konteks Perjanjian Lama. Salah-satunya adalah sosok seorang pemimpin yang bernama Simson, seorang hakim yang bisa kita jadikan dasar dalam telaah relevansi konteks kita untuk saat ini. Konteks masa Simson pada zaman hakim-hakim (Hakim-hakim 13-16) merupakan salah satu cerminan dari identitas ke-Kristenan kita saat ini. 

Hal yang serupa juga telah diungkapkan oleh Eka Darmaputera mengenai kehadiran dan keberadaan orang-orang Kristen di Indonesia, bahkan hingga saat ini tidak ada lagi “pengaruh” yang bisa diharapkan untuk dilakukan. Bahkan semua identitas (kharisma dan semua potensi yang dimiliki) tidak lagi dapat dipertahankan.[6] Jika kita kembali pada konteks Hakim-hakim, ada keistimewaan (kharisma dan karunia) yang diberikan Tuhan kepada Simson sebagai icon bagi bangsa Israel pada masa itu. Identitas bangsa Israel adalah cerminan yang terlihat dalam diri Simson. Dengan demikian, citra dan identitas dirinya juga adalah merupakan wujud dari keberadaan (eksistensi) Israel sendiri. Sama seperti hakim-hakim lainnya, Simsonlah yang menjadi kunci dari keberadaan bangsa Israel pada waktu itu (corporate personality). Artinya, jika para hakim-hakim yang diutus Allah dapat memperlihatkan identitasnya di tengah-tengah bangsa-bangsa asing (goyim), maka bangsa Israel pun akan dapat hidup dan bertahan dalam pergolakan di bangsa itu. Sebaliknya, jika para hakim-hakim tidak dapat mempertahankan identitasnya (sebagai umat yang kudus) maka itu akan menjadi malapetaka, dan kehancuran pada mereka akan terjadi.[7]

Oleh sebab itu, menjaga dan mempertahankan identitas yang utuh adalah hal yang sangat penting dan vital sekali dihidupi untuk dijalankan sebagai bentuk keber-ada-an hidup umat-Nya. Inilah yang menjadi dasar mengapa Allah harus tetap memilih para hakim-hakim dan Simson adalah salah satu sebagai hakim yang dipercaya dan dijadikan sebagai pemimpin yang dapat menjaga identitas bangsa Israel.

Akan tetapi, pada kenyataannya otoritas dalam identitas yang diberikan Allah kepada Simson ternyata tidak dapat dihidupinya dalam bentuk eksistensia panggilannya sebagai seorang hakim. Akhirnya, bius dunia yang sangat sekuler dalam segala kenikmatan dan kepuasan yang ditawarkan pada masa itu membuat Simson terbuai dan terlarut, hingga akhirnya terjatuh. Kenikmatan dunia yang hadir dalam setiap perubahan zaman benar-benar membuat Simson terikat dan terseret hingga tidak berdaya. Rayuan sang ekstravaganza yang hadir lewat cantiknya paras Delila - yang pada saat itu adalah seorang Miss Filistin - dan juga tawaran kekuasan membuatnya berlutut dan sujud menyembah kekuatan sang iblis dunia.

Identitas dan kekuatan Simson pun semakin redup, dan akhirnya padam dalam arus kenikmatan pusaran zaman yang menggodanya pada masa itu. Keberadaannya dalam status sebagai pemimpin Israel pun terhempas. Itulah konsekuensi yang harus dia tanggung ketika menjual identitasnya kepada penguasa dunia. Sebab akhirnya, Simson menyadari bahwa identitas yang ia miliki sebagai hal istimewa (kharisma) yang diberikan Tuhan kepadanya tidak dapat ia jaga dan pergunakan dengan benar. Dampaknya adalah, semua bangsa Israel pun harus menanggung dosa kehancuran sebagai akibat dari perbuatan pemimpin mereka itu.

Kembali pada pribadi yang utuh
Menyadari kondisi yang ada seperti gambaran di atas, kita pasti memerlukan sebuah perubahan yang lebih baik lagi. Akan tetapi, perubahan bagaimana yang kita inginkan? Apakah perubahan yang hanya menekankan pada aspek “segala sesuatu” yang penting baik dan normal kembali? Yang penting bisa makan enak, tenang, tidak ada masalah, punya ini dan itu, mau apa saja bisa diperoleh dengan gampang? Bahkan, yang penting “semuanya bisa diatur deh!” Itukah gambaran perubahan yang ingin kita harapkan? 

Sebab, sesungguhnya dalam panggilan ke-Kristenan kita juga, tidak banyak orang yang senang jikalau hidupnya selalu bergumul dalam masalah, atau kesusahan hidup datang terus menghadangnya. Mulai dari hal-hal yang kecil dalam persoalan kebutuhan rumah tangga dan bertetangga, hingga permasalahan karier dan posisi yang nyaman dalam tawaran sebuah kekuasaan. 

Akhirnya, tanpa kita sadari zona “kenyamanan” dan “kenikmatan” tersebut membutakan mata hati dan membisukan mulut kita untuk tidak berani menyatakan sesuatu yang terkadang ingin diteriakkan oleh hati kita. Namun apa daya, nafsu dan kedagingan kita tidak bisa kita kuasai. Bahkan, menurut penulis hal yang membuat mata hati kita gempar dan tidak habis pikir adalah, justru yang kita anggap sebagai tokoh maupun panutan dalam dunia spiritual dan intelektual justru akhirnya menjadi biang atau dalang dari kezaliman yang terjadi pada sekarang ini. Terkuaknya kasus korupsi terbesar dalam pemerintahan kita di Departemen Pendidikan dan Departemen Agama adalah sebuah jawaban, betapa hancurnya moral dan ahklak manusia, dan tidak adanya lagi ketulusan yang dimiliki oleh setiap orang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya jika sudah terjerat dan terseret dalam nikmatnya permainan dan cengkraman kekuasaan untuk meraup kekayaan. 

Inilah konteks keprihatinan Charles Kimball melihat fenomena dalam dinamika agama-agama di milenium baru ini. Dapatkah agama diandalkan untuk menyelesaikan sekian banyak problem manusia zaman ini? Tidakkah agama itu sendiri yang menjadi problem dan membuat pusing manusia zaman sekarang? Kimball juga tidak ingin jatuh pada salah satu ekstrem. Ia menunjukkan, di satu pihak agama memang sering menjadi problem dalam sejarah manusia. Namun, di lain pihak, agama juga bisa memberikan nilai dan arti bagi hidup manusia. Dan bagi Kimball, problem atau tidaknya suatu agama tidak bergantung pada agama itu sendiri, tetapi agama dalam kaitannya dengan hidup manusia yang nyata. Dengan kata lain, manusialah patokan yang menentukan apakah agama itu problem atau bukan.[8]

Hal yang serupa juga telah ada terjadi dalam institusi keagamaan kita. Dimana, yang seharusnya gereja dan lembaga keagamaan itu adalah simbol atau identitas ke-Kristenan kita, justru telah berubah menjadi singgasana (menara gading) bagi para penyamun religius. Dimana, mereka senantiasa berbuat dan berlindung dibalik jubah dan topeng yang dipakai dalam ritus-ritus keagamaan. Gereja-gereja yang ada di Indonesia kini sudah menjadi gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, menyamakan diri dengan mega mall maupun plaza-plaza yang menawarkan segala “kenyamanan hidup yang sesungguhnya”. Gereja seolah-olah hendak meninggalkan dunia ini dan menjauh dengan realitas yang terjadi.

Dalam kondisi ini, Kimball telah menguak fenomena yang terjadi dalam studi terhadap agama-agama yang dilakukannya, Kimball menyatakan: “betapa pun luhurnya ajaran suatu agama, betapa pun mulia institusinya, semua itu hanyalah pembusukan, apabila agama tersebut nyata-nyata menyebabkan penderitaan bagi manusia dan sesamanya. Namun, jika agama sampai menjadi korup dan busuk, bukan agama itu sendiri yang menjadi penyebabnya, melainkan manusia pemeluknya.” 

Sungguh sangat menyedihkan sekali, jika akhirnya hak istimewa (kharisma) yang diberikan Tuhan hanya dipakai sebagai alat kepuasan pribadi (kelompoknya). Akhirnya, hal ini menjadi ajang perebutan dan pertarungan atas nama ”tuhan” untuk memimpin umat. Tentunya ini tidak terjadi di gereja saja, sebab kita tahu dalam fakta sejarah bahwa fenomena ini adalah gejala global yang sejak dahulu sudah terjadi di semua jurusan.  
     
Akankah ada sebuah perubahan hakiki yang lahir dari kesadaran jiwa yang utuh dalam memahami kondisi bangsa kita saat ini yang sedang sakit? Masih adakah identitas sebagai bagian dari sisi religius kita? Penulis tidak berpendapat bahwa sejarah pengalaman religius umat manusia yang panjang dan bermacam-macam itu dapat digolongkan pada konsepsi tentang meditasi dan penyangkalan-diri. Sebab, religiusitas manusia adalah suatu pokok yang menentang suatu pendekatan yang simplisistis.

Dalam sisi lain pribadi religi manusia, Kosuke Koyama telah mengatakan bahwa, “keagamaan atau religiusitas adalah suatu ekspresi kebudayaan-kebudayaan manusia mengenai pengalamannya dengan yang suci.” Artinya, identitas manusia dalam religi itu akan terlihat dalam pengalaman pribadi terhadap kekuatan supranatural (roh) yang “memaksa” pribadi untuk melakukan penyangkalan diri. Pengalaman yang demikian itu selalu hidup terus menerus dan menyatakan diri ke semua jurusan.[9] Dengan demikian, maka situasi religius bersifat mendua dan tidak terkendalikan. Sehingga “penyangkalan-diri adalah pokok dari kegiatan religius.”

Praktek penyangkalan-diri pasti merupakan salah satu pengalaman religius yang fundamental dari semua agama-agama historis yang besar di dunia ini. Akan tetapi, organisasi-organisasi, sistem-sistem kewenangan (otoritas), adat-adat kebiasaan dalam ibadah, karangan-karangan dogmatis yang membosankan, pemikiran yang benar mengenai ketuhanan, kultus keluarga dan kehidupan masyarakat, semuanya itu tidak bisa dijadikan pengalaman religius yang sentral. 

Akan tetapi, semua ‘tindakan’ dan ‘pemikiran religius’ baru benar-benar menjadi pengalaman religius jika hanya berakar pada pikiran dalam penyangkalan-diri. Dengan demikian, hakikat pribadi kita sebagai mahkluk religius yang utuh tidak hanya dibalut ataupun dibungkus dalam unsur-unsur keagaman saja. Tetapi unsur itu harus menjadi isi dan dasar dalam memberikan roh dan juga semangat untuk menggerakkan semua keber-ada-an kita, (dalam kaitan ini, religi sebagai sebuah pengalaman dan keyakinan yang lebih personalitis akan dibahas pada bab selanjutnya; lihat pembahasan Peran Religi Dalam Pembentukan Kepribadian).

Hal ini juga sangat kontras diungkapkan oleh Nico Syukur, di mana kemauan adalah hal yang sangat mendasar dalam pengalaman religius. Nico Syukur mengatakan bahwa, ”refleksi iman yang hanya teoritis saja belumlah menjamin perkembangan pengalaman keagamaan serta dampaknya atas kehidupan seseorang.” Dampak itu terutama tergantung pada sikap praktis yang diambil orang terhadapnya. Apabila kita dalam praktek kehidupan melindungi dan memelihara pengalaman itu diajukan untuk dilakukan terus dan berkelanjutan, maka pengalaman religius kita akan semakin kuat, murni dan mendalam. Kalau begitu seluruh cara dan gaya hidup kita akan diwarnai oleh pengalaman beragama. Akan tetapi, kalau kita sebaliknya bersikap acuh tak acuh, maka pengalaman religius tidak akan berkembang melainkan semakin merana dan akhirnya akan hilang.[10]

Sehingga tampaklah bahwa keber-ada-an kita itu akan terlihat menjadi sebuah identitas yang kuat dan jelas dalam setiap kualitas warna dan rasa saat menghadapi setiap perubahan zaman di dunia ini, jika kita benar-benar dapat menyangkal-diri dalam menjaga identitas kita. Dengan demikian, hakekat kita sebagai mahluk ciptaan-Nya dapat hidup dalam nilai-nilai dan wujud materia yang terus-menerus mengalami fase metamorfosis menuju kesempurnaan-Nya, akan menjadi sosok seorang pribadi manusia yang utuh dengan taste yang berbeda menghadapi perubahan dan tantangan zaman yang terjadi.

------------------------------
Catatan akhir
    1 Nampaknya Gereja, sebagai salah satu kelompok masyarakat yang berdasarkan keyakinan agamais, tidak bebas dari permasalahan yang dihadapi oleh kelompok–kelompok masyarakat pada umumnya. Kehadiran Gereja di dunia ini, baik Gereja dalam sekala lokal, nasional, mapun internasioanl, tidak lepas dari pemahaman, sikap, dan ulah yang kurang terpuji. Ada egoisme pribadi, fanatisme denominasi, ataupun kesombongan kelompok yang melahirkan sikap-sikap tidak ada perhatian, tidak mau menolong, dan tidak ada rasa kebersamaan terhadap sesama orang Kristen, apalagi terhadap yang bukan Kristen. Perhatian, pertolongan, dan kebersamaan hanya diberikan kepada “yang diperkenankan”, atau “yang diperlukan” untuk melestarikan “kepentingan” sendiri. Lih. Meno Soebagjo, Esensi Dasar Pelayanan Gereja (dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana: Pelayanan Gereja) edisi 57. Yogyakarta, 2001, hlm. 24
Hal ini telah menjadi perdebatan yang panjang ketika SKB 1969 atau Perber Dua Mentri kembali digulirkan dan hendak diberlakukan.  Tentunya hal ini mendapat respon yang sangat antusias dari kalangan Khatolik dan Protestan. Seperti apa yang dikemukakan oleh Romo Frans Magnis bahwa pendirian rumah ibadat perlu izin, itu berlaku di banyak negara. Tetapi, izin itu hanya demi tatanan dan keteraturan pembangunan. Hak setiap umat untuk beribadat harus dijamin. Oleh sebab itu, pemerintah harus tegas dan arif dalam memberlakukan peraturan, apalagi terkait dengan hak asasi manusia, sebab beribadat adalah hak asasi setiap manusia. Akan tetapi, Romo Magnis juga mengingatkan umat percaya agar dapat lebih pro aktif dalam hidup yang terbuka (inklusif) dengan umat beragama lainnya, supaya tidak ada salah paham dan persepsi yang berbeda dalam pelaksanaan maupun pembangunan sebuah rumah ibadah. Lih. Frans Magnis Suseno, Berebut Jiwa Bangsa: Dialog, Perdamaian dan Persaudaraan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 367-371
3 Lihat A. Setyawan, Orang Gila dari Nazaret. Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 25
Kondisi krisis yang dimaksud disini, adalah kondisi yang juga sangat terkait dengan krisis yang lainnya. Sebab, dampak sosial yang terjadi pada bangsa kita bukanlah disebabkan hanya oleh satu krisis saja, yaitu krisis moneter. Akan tetapi, ada banyak krisis yang terjadi dan dampak sosialnya secara akulatif menumpuk dalam masyarakat. Makin banyak dan makin lama adanya bermacam-macam krisis itu, makin berat pula dampak sosialnya.
5 Sindunata. Politik Omong Kosong. Dalam majalah Basis no. 1-2 Tahun ke-56, Januari-Februari 2007, hlm. 3  
5      6 Eka Darmaputera mengatakan, bahwa situasi yang menimpa umat Kristiani adalah dalam bentuk kelumpuhan anatomi dan ketidakberdayaan gereja dan juga sekaligus menimpa seluruh sendi-sendi  bangsa Indonesia. Yang jelas menurut Eka, keKristenan telah menjadi sekedar “pemantas dan asesori semata” dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara di Indonesia, dan “kehadiran kita semakin dilecehkan dan diremehkan”. Lih. Eka Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 332-333.
7 Band. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan. Jakarta : BPK-GM, 1986, hlm. 122. Wismoady mengatakan bahwa para hakim-hakim adalah orang-orang yang pertama menerima kharisma untuk memimpin orang banyak, sebab mereka adalah orang-orang yang dipanggil Yahweh. Ketika Roh Yahweh (Tuhan) menguasai mereka maka mereka dimampukan untuk melakukan hal-hal yang luar biasa.
8Lih. Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: Mizan, 2003, hlm. 14
9 Kosuke Koyama, Tiada Gagang Pada Salib: Meditasi Mengenai Pikiran Yang Disalibkan Di Asia. Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 42
10 Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani. Yogyakarta: Kanisius-BPK GM, 1989, hlm. 44-45




















TUHAN MENDENGARKAN SERUAN ORANG PERCAYA

PENDAHULUAN Saudara/i yang terkasih, kita bersyukur atas kasih dan penyertaan Tuhan karena kita masih bisa beribadah bersama pada ming...