”Keber-ada-an kita itu akan terlihat menjadi sebuah
identitas yang kuat
dan jelas dalam setiap kualitas warna dan rasa
saat menghadapi setiap perubahan zaman di dunia ini,
jika kita benar-benar dapat menyangkal-diri dalam menjaga
identitas kita.”
Pendahuluan
Manusia hanya
dapat menjalani perubahan-perubahan dalam setiap proses hidup yang terjadi, dalam
artian manusia hanya dapat memikirkan dan memaknai apa saja yang terjadi dan
apa dampak dari perubahan yang terjadi. Akan tetapi, bukan dalam arti membatasi
kemampuan manusia dalam menghidupi perubahan. Namun, memang itulah keterbatasan
manusia yang lahir dan berada dalam titik perubahan yang sedang dan akan terus
berlangsung.
Manusia berada
dalam perubahan zaman yang terus-menerus berkelanjutan. Meng-ada dan menjadi
sesuatu yang ber-wujud dalam materi dan nilai-nilai. Perwujudan itu telah
menjadi sebuah hakikat dalam pribadi maupun komunitasnya di tengah-tengah dunia
ini. Yaitu, hidup bersama-sama dalam nilai-nilai asasi yang disepakati (baik
lokal maupun global, walaupun nilai itu juga adalah sebuah proses yang sangat
panjang dan penuh pertentangan untuk dilakukan dalam segala sudut pandang), dan
bahkan harus memaksa manusia dapat bertahan dalam setiap perubahan yang
terjadi.
Konsekuensi logis
ini adalah juga merupakan bagian dari hal yang prinsipil terjadi dalam hidup
ke-Kristenan kita. Keyakinan dogmatis dalam iman yang logis telah menjadikan
ke-Kristenan menjadi sebuah paguyuban yang sangat besar disepanjang masa.
Paguyuban yang lahir secara personal dan hidup dalam konteks plural yang
universal untuk dapat melaksanakan misi yang telah dihukumkan sebagai sebuah
pilihan dan jawaban atas komitmen setiap orang yang mengikut kebenaran-Nya.
Pada umumnya
sekarang ini, pilihan aktif (kesadaran yang penuh untuk percaya melakukan tugas
dan kewajiban dengan iman yang benar) maupun pilihan pasif (warisan atau
pemberian keluarga dalam tradisi yang telah dimiliki sejak lahir) yang dimiliki
oleh setiap orang dalam memperlihatkan identitasnya sebagai seorang Kristen
tidak dapat lagi dibedakan. Tidak ada lagi perbedaan signifikan yang dapat diperlihatkan dalam interaksi-interaksi
sosial yang muncul di masyarakat kita. Seolah-olah tidak ada lagi perbedaan
yang mendasar dapat kita lihat dari setiap orang atau kelompok orang yang
menyatakan identitasnya adalah sebagi orang Kristen.[1]
Identitas personal
yang muncul sebagai bagian atas kelengkapan hidup pribadi hanyalah sebatas
bagian dari proses administratif dalam pengakuan (legal) sebagai warga yang
diterima dan tinggal (berada) di suatu tempat atau wilayah. Hal itu pun akan
berjalan jika ada inisiatif dari setiap personal untuk meng-aku-kan (menyatakan ada) dirinya dalam wilayah
pemukiman tempat yang dituju atau didiami. Sebab, jika tidak terdaftar dalam
pencatatan sipil dalam sensus keanggotaan penduduk, maka akan dianggap sebagai
penduduk “gelap” atau liar (istilahnya “mahluk
asing”). Sehingga tidak jarang orang-orang Kristen juga dianggap sebagai
orang yang ”asing” dan ”liar” di beberapa daerah tertentu karena
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Misalnya saja, dalam kasus-kasus yang
terjadi beberapa waktu yang telah lewat, dimana orang Kristen yang beribadah
haruslah memiliki identitas yang jelas (itupun kalau diterima oleh penduduk
setempat) barulah dapat melaksanakan ibadah.
Bahkan hingga saat
ini hal yang sangat menghebohkan adalah mengenai surat izin atau surat berbadan
hukum yang harus dimiliki oleh sekelompok warga (jemaat) untuk dapat mendirikan
bangunan (gedung) gereja-Nya.[2] Hal ini telah menjadi sorotan dan sempat menjadi
perdebatan panjang dari kalangan cendikiawan Kristen dan juga oleh pimpinan
umat beragama yang ada di Idonesia. Salah satunya seperti apa yang telah
diungkapkan oleh Romo Frans Magnis Suseno. Apa yang dikemukakan oleh Romo
Magnis dalam hal esensi ibadah dan membangun rumah ibadah adalah hal yang perlu
kembali diperhatikan oleh gereja. Sebab, apa yang menjadi misi gereja pada
belakangan ini sudah jauh dari esensi dasar panggilannya di tengah-tengah
bangsa dan dunia ini.
Dapat kita lihat,
bahwa selama ini kegiatan yang dilakukan hanyalah sebatas seremonial dan pesta-pesta
pembangunan yang dibungkus dalam ibadah syukuran. Padahal kalau kita jujur
masih banyak sekali umat (jemaat) kita yang masih sangat membutuhkan bantuan,
apakah dalam hal kebutuhan pokok, pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, gereja justru dengan semakin egoisnya melaksanakan dan
mengkultuskan pestapora sebagai bagian dari ibadah tanpa memikirkan lagi apa
yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan kepada umat.
Dengan demikian,
kita tidak perlu lagi heran dengan kondisi yang terjadi pada gereja sekarang
ini. Begitu juga dengan semua identitas kelompok yang ikut meramaikan bagian
(komponen) dalam keberadaan bangsa kita saat ini, apakah itu wadah perkumpulan,
persatuan, organisasi atau lembaga, maupun partai yang berlindung dan hanya
menggunakan salib sebagai tameng (bahkan
ada yang menjual identitasnya agar diakui). Semuanya hanyalah menjadi
bagian pelengkap dari kemajemukan (bhineka)
dan kompleksnya bangsa kita. Sangat jarang, bahkan hampir tidak ada lagi
organisasi gerejawi yang tetap setia melakukan tugas dan tanggung jawab dalam
misi kasih-Nya. Apalagi terhadap dunia sekitar maupun sosialnya.
Tidaklah heran
jika keber-ada-an dan ke-hadir-an kita mungkin hanya dianggap sebagai pendatang
yang tidak perlu dibiarkan berkembang. Bahkan ada gerakan-gerakan ekstrim yang
mencoba untuk menghancurkan dan menghilangkan ke-Kristenan dari bumi pertiwi
Indonesia karena dianggap sebagai bagian dari bangsa yang kafir. Ini adalah
gerakan tersistematis dalam agenda yang terselubung (hidden agenda) yang telah
dipersiapkan oleh sekelompok orang-orang ekstrem yang salah dan sesat. Hal yang
menjadi catatan penting bagi kita saat ini adalah, apakah kita hanya pasrah dan
hanya berdiam saja jika akhirnya identitas kita mengalami kegamangan dan diperlakukan
seperti itu? Mengapa hal ini bisa terjadi? Inilah permenungan yang harus segera
disadari. Sebab, gejala dan fenomena yang sudah menyerang keberadaan
(eksistensia) ke-Kristenan dalam perubahan zaman ini semakin mengaburkan, dan
bahkan hampir menghilangkan identitas ke-Kristenan kita.
Saat ini, setiap
orang yang mengaku baik, ulama atau nabi, teroris, orang kudus (saleh),
bajingan, mafia (mahong), orang tua, anak-anak bisa saja berkata, “Kita harus disiplin, waspada, dan saling
membantu.” Setiap orang bisa saja mengatakan apa pun yang baik-baik dan
suci. Bahkan, penulis juga pernah melihat ada orang gila yang berdiri di depan
umum, dan dengan lantangnya mengatakan hal yang demikian. Apakah karena
penampilan atau perawakan dan semua yang diucapkannya, yang membuat penulis
berpikir bahwa dia gila, atau memang dia benar-benar gila, sehingga mengucapkan
hal yang seperti itu. Sudahlah, saat ini itu tidak penting untuk kita singgung,
sebab bisa saja hal itu menjadi suatu sudut pandang yang berbeda.
Akan tetapi,
apakah semua tindakan perkataan dan perbuatan itu menjadi sesuatu yang bermakna
atau tidak? Akhirnya hal itu bergantung pada siapa yang mengatakannya, dan
bagaimana relasi sosok tersebut dengan orang yang melihat atau mendengarnya (menjadi sosiobudaya).[3] Benarkah dengan ucapan dan perbuatan itu telah menjadi
bukti atau simbol dari keberadaan identitas ke-Kristenan kita? Hal apa yang dapat
kita nyatakan, ataupun perlihatkan dalam keadaan yang sangat sulit seperti
sekarang ini? Bagaimana kita dapat meng-aku-kan dan meng-hidupi keberadaan kita
sebagai orang-orang Kristen? Identitas apa yang kita nyatakan dalam panggilan
ke-Kristenan kita di tengah-tengah bangsa kita yang masih sakit? Apakah kita
juga akan menjadi sama seperti yang terjadi dalam perubahan zaman ini?
Mencari identitas dalam benang kusut
Banyak istilah dan
simbol-simbol yang mungkin sering dan telah kita pakai, bahkan senantiasa kita
ucapkan dalam menggambarkan situasi atau keadaan bangsa kita saat ini. Terlepas
apakah itu adalah istilah umum dari apa yang kita lihat dan dengar, ataupun
istilah pribadi yang lahir dari refleksi dan ekspresi yang kita nyatakan
sebagai bagian dari tanggapan atau respon (sense
of belonging) kita dalam menangkap (impresi) setiap permasalahan
yang terjadi. Yang pasti, kita masih tetap dan akan terus menggunakan
istilah-istilah tersebut sampai kita tidak lagi berada dalam keadaan ataupun
suasana yang kita rasakan itu.
Apakah yang sedang
kita cari dalam identitas kita, apakah kita sedang mencari identitas pribadi
kita dalam identitas kelompok atau sosial masyarakat ini? Benarkah identitas
pribadi kita saat ini sudah mencerminkan identitas kelompok masyarakat kita?
Atau sebaliknya, identitas kelompok dalam sosial masyarakat kita adalah
gambaran dari identitas pribadi kita? Melihat kondisi dan situasi yang terjadi
pada wajah bangsa kita sekarang ini, mungkin banyak yang tidak setuju dengan
opsi yang ditawarkan tersebut. Sebab, mungkin kedua gambaran itu belum dapat
dijadikan sebagai patokan untuk dapat mengukur atau mengklaim identitas yang
kita miliki. Penulis bersyukur dan bangga sekali, dengan ketidaksetujuan itu,
ternyata masih ada keyakinan yang tertanam dalam kepribadian kita.
Hal yang pasti dan
dapat kita rasakan saat ini adalah adanya masa transisi yang sedang terjadi
pada setiap aras hidup bangsa kita. Ada fase metamorfosis yang sedang
berproses dalam paradigma dan prakarsa. Perubahan wujud menuju kesempurnaan
bentuk (metamorfosis) yang berlaku
juga tidak terlepas dari kemauan (yang
muncul dari dalam kesadaran diri) dan antusias dari setiap orang yang ingin
merasakan dan melakukan perubahan itu sendiri.
Misalnya, hal itu
dapat kita lihat dari carut-marutnya sistem pendidikan nasional dalam dunia
pendidikan formal yang terjadi pada bangsa kita. Kebudayaan bangsa Indonesia
yang sangat kaya dan tidak terawat pun akhirnya dicuri oleh bangsa asing. Belum
lagi masa transisi bidang perekonomian nasional kita yang juga masih dalam
lingkaran krisis (mungkin entah sampai
kapan) yang membuat bangsa kita terus mengalami krisis bahan pangan,[4]kemudian disusul lagi dari peristiwa terkuaknya misteri
sang mafia hukum dan peradilan kita (korupsi
di tingkat kejaksaan dan komisi judisial, hingga direktorat jendral pajak)
yang telah terbongkar (walaupun masih
sebagian). Serta runtuhnya manajemen dan konstruksi sistem perhubungan
kita, baik darat, laut maupun udara, yang akhirnya menimbulkan trauma yang
sangat, dalam kanyamanan sarana dan infrastruktur tranportasi kita di tahun
2007 yang lalu.
Semua hal ini
membuktikan bahwa kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya bangsa
kita sudah sangat rapuh. Hal
itu juga akan segera mengakibatkan erosi dan keruntuhan yang sangat hebat jika
kita semua sebagai bagian dari warga masyarakat tidak segera mengantisipasinya.
Para pemimpin bangsa, baik para negarawan dan kaum-kaum intelektual yang muncul
dari balik topeng partai yang ada, hanya mampu berkata-kata dalam memberikan
pengamatan terhadap bangsa ini. Rumusan-rumusan asing pun dipakai untuk dapat
membuat masyarakat bawah (awam) menjadi bingung dan tidak perlu banyak
berkomentar seperti iklan dalam media televisi yang sering kita lihat, “Orang
muda tidak boleh bicara!”.
Mereka semua
sangat “pandai” bahkan sangat “mahir” memberikan penilaian dan kritik terhadap
bangsa ini, mulai dari kritik pedas alias kritik politik sebagai sikap atas
partai oposisi – walaupun menurut penulis yang muncul bukanlah sikap oposisi,
akan tetapi ketidakdewasan dan politik naïf yang terus dipertontonkan - hingga kritik yang manis dan
mengenyangkan perut dengan tawa yang dibungkus dalam sebuah sekenario parodi.
Slogan dan jargon-jargon yang muncul hanyalah sebagai alat untuk menjual
keadaan dan penderitaan bangsa kita. Bahkan, hal yang membuat heboh lagi
adalah, identitas ke-Kristenan kita juga - baik institusi atau lembaga
keagamaan maupun juga partai - ternyata ikut melakukan hal yang sama.
Mau tidak mau,
kondisi ini harus dapat dikendalikan dan diarahkan, seperti yang telah
dikemukakan oleh Sindhunata, bahwa saat ini politik kita sangatlah dituntut
untuk menjadi semakin intelijen. Menjadi intelijen, berarti politik harus
menjadi seni yang bisa menjadikan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dalam
artian, kita juga dituntut untuk membuat politik menjadi akal dan taktik
manusia dalam mengalahkan nasib. Maksudnya, dengan kepandaian dan
intelijensinya, politik harus bisa membawa kita kepada kreativitas manusia yang
mampu mengatasi segala kekuatan irasional yang kelihatannya tidak dapat
ditaklukkan dan menindas kita, entah itu egoisme, partikularisme,
sektarianisme, primordialisme, bahkan fatalisme yang datang dari kedahsyatan
alam.[5]
Derita apa lagikah
yang harus terjadi dan yang akan menimpa setiap warga masyarakat kita, supaya
hal itu dapat membuktikan bahwa bangsa kita sudah dalam kondisi yang sedang
sakit dan sangat akut? Haruskah banyak lagi korban yang akan terjatuh, hingga
menggemparkan status ataupun identitas bangsa kita? Bagaimana kita dapat
mengatakan identitas pribadi dan bangsa kita adalah identitas yang berakhlak
dan berbudi luhur? Atau, ternyata kita membenarkan dan menerima dengan pasrah
apa yang diungkapkan oleh para “pemerhati” (walaupun mereka ternyata tidak
punya hati) bangsa kita, bahwa kondisi kita sekarang ini seperti benang yang
kusut, dan juga seperti berada dalam cengkraman sang iblis dunia?
Terseret dan terbuang oleh zaman: langkah yang semakin redup
Belajar dari
kondisi yang ada, maka sekarang kita akan sampai pada pengalaman iman dan
kesaksian yang disampaikan oleh para Hakim-hakim dalam konteks Perjanjian Lama.
Salah-satunya adalah sosok seorang pemimpin yang bernama Simson, seorang hakim
yang bisa kita jadikan dasar dalam telaah relevansi konteks kita untuk saat
ini. Konteks masa Simson pada zaman hakim-hakim (Hakim-hakim 13-16) merupakan
salah satu cerminan dari identitas ke-Kristenan kita saat ini.
Hal yang serupa
juga telah diungkapkan oleh Eka Darmaputera mengenai kehadiran dan keberadaan
orang-orang Kristen di Indonesia, bahkan hingga saat ini tidak ada lagi
“pengaruh” yang bisa diharapkan untuk dilakukan. Bahkan semua identitas
(kharisma dan semua potensi yang dimiliki) tidak lagi dapat dipertahankan.[6] Jika kita kembali
pada konteks Hakim-hakim, ada keistimewaan (kharisma dan karunia) yang
diberikan Tuhan kepada Simson sebagai icon bagi bangsa Israel pada masa
itu. Identitas bangsa Israel adalah cerminan yang terlihat dalam diri Simson.
Dengan demikian, citra dan identitas dirinya juga adalah merupakan wujud dari
keberadaan (eksistensi) Israel sendiri. Sama seperti hakim-hakim lainnya,
Simsonlah yang menjadi kunci dari keberadaan bangsa Israel pada waktu itu (corporate personality). Artinya, jika
para hakim-hakim yang diutus Allah dapat memperlihatkan identitasnya di
tengah-tengah bangsa-bangsa asing (goyim),
maka bangsa Israel pun akan dapat hidup dan bertahan dalam pergolakan di bangsa
itu. Sebaliknya, jika para hakim-hakim tidak dapat mempertahankan identitasnya
(sebagai umat yang kudus) maka itu akan menjadi malapetaka, dan kehancuran pada
mereka akan terjadi.[7]
Oleh sebab itu,
menjaga dan mempertahankan identitas yang utuh adalah hal yang sangat penting
dan vital sekali dihidupi untuk dijalankan sebagai bentuk keber-ada-an hidup
umat-Nya. Inilah yang menjadi dasar mengapa Allah harus tetap memilih para
hakim-hakim dan Simson adalah salah satu sebagai hakim yang dipercaya dan
dijadikan sebagai pemimpin yang dapat menjaga identitas bangsa Israel.
Akan tetapi, pada
kenyataannya otoritas dalam identitas yang diberikan Allah kepada Simson
ternyata tidak dapat dihidupinya dalam bentuk eksistensia panggilannya sebagai
seorang hakim. Akhirnya, bius dunia yang sangat sekuler dalam segala kenikmatan
dan kepuasan yang ditawarkan pada masa itu membuat Simson terbuai dan terlarut,
hingga akhirnya terjatuh. Kenikmatan dunia yang hadir dalam setiap perubahan
zaman benar-benar membuat Simson terikat dan terseret hingga tidak berdaya.
Rayuan sang ekstravaganza yang hadir lewat cantiknya paras Delila - yang
pada saat itu adalah seorang Miss Filistin - dan juga tawaran kekuasan
membuatnya berlutut dan sujud menyembah kekuatan sang iblis dunia.
Identitas dan
kekuatan Simson pun semakin redup, dan akhirnya padam dalam arus kenikmatan
pusaran zaman yang menggodanya pada masa itu. Keberadaannya dalam status
sebagai pemimpin Israel pun terhempas. Itulah konsekuensi yang harus dia
tanggung ketika menjual identitasnya kepada penguasa dunia. Sebab akhirnya,
Simson menyadari bahwa identitas yang ia miliki sebagai hal istimewa (kharisma)
yang diberikan Tuhan kepadanya tidak dapat ia jaga dan pergunakan dengan benar.
Dampaknya adalah, semua bangsa Israel pun harus menanggung dosa kehancuran
sebagai akibat dari perbuatan pemimpin mereka itu.
Kembali pada pribadi yang utuh
Menyadari kondisi
yang ada seperti gambaran di atas, kita pasti memerlukan sebuah perubahan yang
lebih baik lagi. Akan tetapi, perubahan bagaimana yang kita inginkan? Apakah
perubahan yang hanya menekankan pada aspek “segala sesuatu” yang penting baik
dan normal kembali? Yang penting bisa makan enak, tenang, tidak ada masalah,
punya ini dan itu, mau apa saja bisa diperoleh dengan gampang? Bahkan, yang
penting “semuanya bisa diatur deh!” Itukah gambaran perubahan yang ingin
kita harapkan?
Sebab,
sesungguhnya dalam panggilan ke-Kristenan kita juga, tidak banyak orang yang
senang jikalau hidupnya selalu bergumul dalam masalah, atau kesusahan hidup
datang terus menghadangnya. Mulai dari hal-hal yang kecil dalam persoalan
kebutuhan rumah tangga dan bertetangga, hingga permasalahan karier dan posisi
yang nyaman dalam tawaran sebuah kekuasaan.
Akhirnya, tanpa
kita sadari zona “kenyamanan” dan “kenikmatan” tersebut membutakan mata hati
dan membisukan mulut kita untuk tidak berani menyatakan sesuatu yang terkadang
ingin diteriakkan oleh hati kita. Namun apa daya, nafsu dan kedagingan kita
tidak bisa kita kuasai. Bahkan, menurut penulis hal yang membuat mata hati kita
gempar dan tidak habis pikir adalah, justru yang kita anggap sebagai tokoh
maupun panutan dalam dunia spiritual dan intelektual justru akhirnya menjadi
biang atau dalang dari kezaliman yang terjadi pada sekarang ini. Terkuaknya
kasus korupsi terbesar dalam pemerintahan kita di Departemen Pendidikan dan
Departemen Agama adalah sebuah jawaban, betapa hancurnya moral dan ahklak
manusia, dan tidak adanya lagi ketulusan yang dimiliki oleh setiap orang dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya jika sudah terjerat dan terseret dalam
nikmatnya permainan dan cengkraman kekuasaan untuk meraup kekayaan.
Inilah konteks
keprihatinan Charles Kimball melihat fenomena dalam dinamika agama-agama di
milenium baru ini. Dapatkah agama diandalkan untuk menyelesaikan sekian banyak
problem manusia zaman ini? Tidakkah agama itu sendiri yang menjadi problem dan
membuat pusing manusia zaman sekarang? Kimball juga tidak ingin jatuh pada
salah satu ekstrem. Ia menunjukkan, di satu pihak agama memang sering menjadi
problem dalam sejarah manusia. Namun, di lain pihak, agama juga bisa memberikan
nilai dan arti bagi hidup manusia. Dan bagi Kimball, problem atau tidaknya
suatu agama tidak bergantung pada agama itu sendiri, tetapi agama dalam
kaitannya dengan hidup manusia yang nyata. Dengan kata lain, manusialah patokan
yang menentukan apakah agama itu problem atau bukan.[8]
Hal yang serupa
juga telah ada terjadi dalam institusi keagamaan kita. Dimana, yang seharusnya
gereja dan lembaga keagamaan itu adalah simbol atau identitas ke-Kristenan
kita, justru telah berubah menjadi singgasana (menara gading) bagi para
penyamun religius. Dimana, mereka senantiasa berbuat dan berlindung dibalik
jubah dan topeng yang dipakai dalam ritus-ritus keagamaan. Gereja-gereja yang
ada di Indonesia kini sudah menjadi gedung-gedung pencakar langit yang
menjulang tinggi, menyamakan diri dengan mega mall maupun plaza-plaza yang
menawarkan segala “kenyamanan hidup yang sesungguhnya”. Gereja seolah-olah
hendak meninggalkan dunia ini dan menjauh dengan realitas yang terjadi.
Dalam kondisi ini,
Kimball telah menguak fenomena yang terjadi dalam studi terhadap agama-agama
yang dilakukannya, Kimball menyatakan: “betapa pun luhurnya ajaran suatu agama,
betapa pun mulia institusinya, semua itu hanyalah pembusukan, apabila agama
tersebut nyata-nyata menyebabkan penderitaan bagi manusia dan sesamanya. Namun,
jika agama sampai menjadi korup dan busuk, bukan agama itu sendiri yang menjadi
penyebabnya, melainkan manusia pemeluknya.”
Sungguh sangat
menyedihkan sekali, jika akhirnya hak istimewa (kharisma) yang diberikan Tuhan
hanya dipakai sebagai alat kepuasan pribadi (kelompoknya). Akhirnya, hal ini
menjadi ajang perebutan dan pertarungan atas nama ”tuhan” untuk memimpin umat.
Tentunya ini tidak terjadi di gereja saja, sebab kita tahu dalam fakta sejarah
bahwa fenomena ini adalah gejala global yang sejak dahulu sudah terjadi di
semua jurusan.
Akankah ada sebuah
perubahan hakiki yang lahir dari kesadaran jiwa yang utuh dalam memahami
kondisi bangsa kita saat ini yang sedang sakit? Masih adakah identitas sebagai
bagian dari sisi religius kita? Penulis tidak berpendapat bahwa sejarah
pengalaman religius umat manusia yang panjang dan bermacam-macam itu dapat
digolongkan pada konsepsi tentang meditasi dan penyangkalan-diri. Sebab,
religiusitas manusia adalah suatu pokok yang menentang suatu pendekatan yang
simplisistis.
Dalam sisi lain
pribadi religi manusia, Kosuke Koyama telah mengatakan bahwa, “keagamaan atau
religiusitas adalah suatu ekspresi kebudayaan-kebudayaan manusia mengenai
pengalamannya dengan yang suci.” Artinya, identitas manusia dalam religi itu
akan terlihat dalam pengalaman pribadi terhadap kekuatan supranatural (roh)
yang “memaksa” pribadi untuk melakukan penyangkalan diri. Pengalaman yang
demikian itu selalu hidup terus menerus dan menyatakan diri ke semua jurusan.[9] Dengan demikian, maka situasi religius bersifat mendua
dan tidak terkendalikan. Sehingga “penyangkalan-diri adalah pokok dari kegiatan
religius.”
Praktek
penyangkalan-diri pasti merupakan salah satu pengalaman religius yang
fundamental dari semua agama-agama historis yang besar di dunia ini. Akan
tetapi, organisasi-organisasi, sistem-sistem kewenangan (otoritas), adat-adat kebiasaan
dalam ibadah, karangan-karangan dogmatis yang membosankan, pemikiran yang benar
mengenai ketuhanan, kultus keluarga dan kehidupan masyarakat, semuanya itu
tidak bisa dijadikan pengalaman religius yang sentral.
Akan tetapi, semua
‘tindakan’ dan ‘pemikiran religius’ baru benar-benar menjadi pengalaman
religius jika hanya berakar pada pikiran dalam penyangkalan-diri. Dengan
demikian, hakikat pribadi kita sebagai mahkluk religius yang utuh tidak hanya
dibalut ataupun dibungkus dalam unsur-unsur keagaman saja. Tetapi unsur itu
harus menjadi isi dan dasar dalam memberikan roh dan juga semangat untuk
menggerakkan semua keber-ada-an kita, (dalam kaitan ini, religi sebagai sebuah
pengalaman dan keyakinan yang lebih personalitis akan dibahas pada bab selanjutnya;
lihat pembahasan Peran Religi Dalam Pembentukan Kepribadian).
Hal ini juga
sangat kontras diungkapkan oleh Nico Syukur, di mana kemauan adalah hal yang
sangat mendasar dalam pengalaman religius. Nico Syukur mengatakan bahwa, ”refleksi
iman yang hanya teoritis saja belumlah menjamin perkembangan pengalaman
keagamaan serta dampaknya atas kehidupan seseorang.” Dampak itu terutama tergantung pada sikap praktis
yang diambil orang terhadapnya. Apabila kita dalam
praktek kehidupan melindungi dan memelihara pengalaman itu diajukan untuk
dilakukan terus dan berkelanjutan, maka pengalaman religius kita akan semakin
kuat, murni dan mendalam. Kalau begitu seluruh cara dan gaya hidup kita akan
diwarnai oleh pengalaman beragama. Akan tetapi, kalau kita sebaliknya bersikap acuh tak acuh, maka pengalaman religius tidak akan
berkembang melainkan semakin merana dan akhirnya akan hilang.[10]
Sehingga tampaklah
bahwa keber-ada-an kita itu akan terlihat menjadi sebuah identitas yang kuat
dan jelas dalam setiap kualitas warna dan rasa saat menghadapi setiap perubahan
zaman di dunia ini, jika kita benar-benar dapat menyangkal-diri dalam menjaga
identitas kita. Dengan demikian, hakekat kita sebagai mahluk ciptaan-Nya dapat
hidup dalam nilai-nilai dan wujud materia yang terus-menerus mengalami fase
metamorfosis menuju kesempurnaan-Nya, akan menjadi sosok seorang pribadi
manusia yang utuh dengan taste yang
berbeda menghadapi perubahan dan tantangan zaman yang terjadi.
------------------------------
Catatan akhir
1 Nampaknya Gereja,
sebagai salah satu kelompok masyarakat yang berdasarkan keyakinan agamais,
tidak bebas dari permasalahan yang dihadapi oleh kelompok–kelompok masyarakat
pada umumnya. Kehadiran Gereja di dunia ini, baik Gereja dalam sekala lokal,
nasional, mapun internasioanl, tidak lepas dari pemahaman, sikap, dan ulah yang
kurang terpuji. Ada egoisme pribadi, fanatisme denominasi, ataupun kesombongan
kelompok yang melahirkan sikap-sikap tidak ada perhatian, tidak mau menolong,
dan tidak ada rasa kebersamaan terhadap sesama orang Kristen, apalagi terhadap
yang bukan Kristen. Perhatian, pertolongan, dan kebersamaan hanya diberikan
kepada “yang diperkenankan”, atau “yang diperlukan” untuk melestarikan
“kepentingan” sendiri. Lih. Meno Soebagjo, Esensi Dasar Pelayanan Gereja
(dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana: Pelayanan Gereja) edisi 57.
Yogyakarta, 2001, hlm. 24
2 Hal ini telah menjadi perdebatan yang panjang ketika SKB
1969 atau Perber Dua Mentri kembali digulirkan dan hendak diberlakukan. Tentunya hal ini mendapat respon yang sangat
antusias dari kalangan Khatolik dan Protestan. Seperti apa yang dikemukakan
oleh Romo Frans Magnis bahwa pendirian rumah ibadat perlu izin, itu berlaku di
banyak negara. Tetapi, izin itu hanya demi tatanan dan keteraturan pembangunan.
Hak setiap umat untuk beribadat harus dijamin. Oleh sebab itu, pemerintah harus
tegas dan arif dalam memberlakukan peraturan, apalagi terkait dengan hak asasi
manusia, sebab beribadat adalah hak asasi setiap manusia. Akan tetapi, Romo Magnis
juga mengingatkan umat percaya agar dapat lebih pro aktif dalam hidup yang terbuka (inklusif) dengan umat beragama
lainnya, supaya tidak ada salah paham dan persepsi yang berbeda dalam
pelaksanaan maupun pembangunan sebuah rumah ibadah. Lih. Frans Magnis Suseno, Berebut
Jiwa Bangsa: Dialog, Perdamaian dan Persaudaraan. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2006, hlm. 367-371
3 Lihat A. Setyawan, Orang Gila dari Nazaret.
Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 25
4 Kondisi krisis yang dimaksud disini, adalah kondisi yang
juga sangat terkait dengan krisis yang lainnya. Sebab, dampak sosial yang
terjadi pada bangsa kita bukanlah disebabkan hanya oleh satu krisis saja, yaitu
krisis moneter. Akan tetapi, ada banyak krisis yang terjadi dan dampak
sosialnya secara akulatif menumpuk dalam masyarakat. Makin banyak dan makin
lama adanya bermacam-macam krisis itu, makin berat pula dampak sosialnya.
5 Sindunata. Politik
Omong Kosong. Dalam majalah Basis no. 1-2 Tahun ke-56,
Januari-Februari 2007, hlm. 3
5 6 Eka Darmaputera mengatakan, bahwa situasi yang menimpa umat Kristiani adalah
dalam bentuk kelumpuhan anatomi dan ketidakberdayaan gereja dan juga sekaligus
menimpa seluruh sendi-sendi bangsa
Indonesia. Yang jelas menurut Eka, keKristenan telah menjadi sekedar “pemantas
dan asesori semata” dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara di
Indonesia, dan “kehadiran kita semakin dilecehkan dan diremehkan”. Lih. Eka
Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta: BPK-GM,
2001, hlm. 332-333.
7 Band. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan. Jakarta : BPK-GM, 1986, hlm. 122.
Wismoady mengatakan bahwa para hakim-hakim adalah orang-orang yang pertama
menerima kharisma untuk memimpin orang banyak, sebab mereka adalah orang-orang
yang dipanggil Yahweh. Ketika Roh Yahweh (Tuhan) menguasai mereka maka mereka
dimampukan untuk melakukan hal-hal yang luar biasa.
8Lih. Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana.
Bandung: Mizan, 2003, hlm. 14
9 Kosuke Koyama, Tiada Gagang Pada Salib: Meditasi
Mengenai Pikiran Yang Disalibkan Di Asia. Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 42
10 Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani. Yogyakarta:
Kanisius-BPK GM, 1989, hlm. 44-45