Monday, May 12, 2014

SUDAHKAH PELAYANAN KASIH SEKSI DIAKONI MENJADI IBADAH YANG SEJATI?



(Refleksi Penelaahan Alkitab Tim Diakoni GKPI Medan Kota 
Dari Persembahan Janda Miskin dalam Lukas 21:1-4)



Pengantar
Tanpa kita sadari, dewasa ini tantangan hidup yang kita hadapi semakin banyak dan kompleks. Kekecewaan dan kegagalan menjadi semakin akrab dengan kehidupan kita. Bahkan, tak jarang kita harus mengalami kegagalan dan kekecewaan yang menyakitkan atau menggoncangkan hidup. Dalam kondisi itulah kita berada dalam masa krisis; bahkan krisis iman dan krisis kasih. Namun bila kita peka akan rahmat Allah, maka krisis kehidupan tersebut akan kita lihat sebagai undangan untuk semakin mendalami hati Yesus. Bila kita menanggapi kehadiran Yesus secara optimis, maka sesuatu yang mengagumkan akan terjadi, menyentuh hati dan membaharui hati.

Tak ada kebahagiaan yang lebih bermakna daripada menemukan rahasia kasih-Nya dibalik setiap krisis yang kita alami. Namun banyak orang sulit melihatnya secara rohani. Itulah rahasia yang ditemukan oleh seorang janda miskin dalam Injil Lukas, yang diungkapkan dalam refleksi ini. Sekalipun janda tersebut miskin dan sengsara, tetapi ia menemukan Kasih Ilahi dalam kehidupannya.  

Pembahasan
Pada suatu hari Yesus mengunjungi Bait Allah. Ketika Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Peti itu mungkin seperti kotak yang berada di pintu-pintu gereja modern. Apapun bentuknya, pada waktu itu Yesus melihat cara mereka memberikan persembahan. Di antara orang-orang kaya, Yesus memperhatikan seorang janda miskin memasukkan dua keping kecil logam. Melihat hal itu, Yesus bersukacita dan mungkin menangis terharu. Lalu, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimp ahannya, tetapi janda ini memberi dari dana kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya.”

Sebelum peristiwa itu, Yesus berbicara tentang ahli-ahli Taurat. “Waspadalah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan di pasar, yang suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan tempat terhormat dalam perjamuan, yang menelan rumah janda-janda dan yang mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Mereka itu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat” (Lukas 20: 45-47).

Yesus memandang rendah orang yang suka pamer pada umumnya, khususnya mereka yang suka pamer kesalehan. Kemudian, muncul seorang janda miskin. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Yesus sedang memperhatikan apa yang dilakukannya. Sepengetahuan kita, janda itu tidak pernah mengetahui ia mendapat sambutan hangat dari Yesus. Karena setelahnya Yesus tidak memanggil dan menepuk-nepuk punggungnya sebagai tanda menyukainya. Tidak juga ada ganjaran atas persembahannya yang agung itu.

Siapakah janda ini? Pertama ia seorang janda. Dengan kata lain ia tidak mempunyai suami yang memberi nafkah. Ia juga seorang peminta-minta. Ia tidak mempunyai harta apa pun. Ia memasukkan uangnya “ke dalam peti persembahan”. Ia memasukkan semua yang dimilikinya, yang berupa dua keping uang logam. Kita bisa memahami dua keping kecil logam ini sebagai lambang kodrat manusia, yaitu tubuh dan jiwa. Janda itu tidak mempunyai sesuatu yang lebih berharga untuk dipersembahkan kecuali jiwa dan raganya. Namun, karena ia memberi semua yang dimilikinya, ia memberi lebih banyak daripada yang lainnya.

Tidakkah hal itu mengingatkan kita pada ajaran yang berulang-ulang dikatakan dalam Injil, bahwa yang dicari Allah dari kita adalah persembahan yang bukan saja dari uang saku kita, tetapi dari keberadaan kita yang terdalam; persembahan diri (bnd Roma 12:1; 2 Kor. 8:5). Persembahan itu lebih mulia daripada segalanya yang dapat kita persembahkan bagi-Nya, yang mungkin bisa disebut sebagai kelimpahan kita, yaitu talenta-talenta kodrati kita, seperti berkhotbah, melayani, mengajar, berkegiatan sosial; atau talenta kharismatis seperti berbahasa roh, menyembuhkan, berdoa, berbicara, dsb. Inilah kelimpahan-kelimpahan yang dipersembahkan banyak orang yang sudah menemukan makna kasih kepada gereja dan sesama sekalipun di dalam kondisi krisis.

Bersama dengan itu muncullah janda miskin ini. Ia adalah simbol kehidupan yang sepenuhnya terpusat pada mencari Allah saja, tidak ada yang lain. Ia mempunyai sedikit sekali untuk dipersembahkan. Ia hanya memiliki kepapaannya (miskin; sengsara), kesendiriannya, dan kelemahannya – kekurangannya yang mutlak. Inilah sebenarnya pengurbanan yang dipersembahkan Ayub kepada Allah ketika bersimpuh di atas kotoran hewan setelah iblis mencobainya (Ayub 2:8). Semua kebaikannya, kekayaannya, martabatnya – yang disebut “kelimpahannya” – sudah diambil dan ia mempersembahkan persembahan yang sangat mendasar, yaitu persembahan dirinya.

Renungan 
Jika kita menyimak arti peristiwa ini, kita memahami misteri sebuah kehidupan doa yang tersembunyi dan kuasanya. Meskipun tentu saja kita ingin secara akal sehat menggunakan talenta kita, melayani sesama, dan melakukan tugas kita dengan baik, ini bukan hal-hal yang paling penting. Persembahan yang diinginkan Allah jauh lebih sulit daripada semua jenis pelayanan kita karena merupakan persembahan keberadaan kita secara total – diri kita yang terdalam, yang biasanya meliputi kesusahan, kelemahan, dan keberdosaan.

Inilah yang cenderung menonjol dalam kesadaran kita. Persembahan dari kepapaan (kemiskinan; kesengsaraan) rohani kita ini merupakan persembahan yang mungkin tidak ada ganjarannya dalam hidup ini. Kita menyenangkan Kristus bila kita tidak memiliki apa-apa untuk dipamerkan selama bertahun-tahun melayani atau pelayanan, tetapi masih terus mau melayani-Nya, itulah persembahan yang mulia, yang sama dengan persembahan janda miskin tersebut.

Hanya sedikit orang yang mau memberikan persembahan ini. Mungkin itu yang menjadi sebab mengapa Gereja terpecah-belah hingga saat ini. Dua keping uang logam itu, atau lebih tepatnya, persembahan diri secara total yang dilambangkannya, tidak terlalu sering masuk ke dalam “peti persembahan”. Yesus sedang menatap tepat ke arah peti persembahan itu untuk memperoleh sukacita karena melihat janda miskin itu memasukkan persembahannya – keping logam itu sebagai simbol persembahan yang sangat kecil.

Namun, itulah arti kehidupan yang tersembunyi, sebuah persembahan yang tidak terlalu tampak berharga oleh dunia, tetapi daya kuasanya terbukti karena mampu membuat terharu hati Kristus, sumber segala rahmat. Bagaimana dengan pelayanan kita sebagai Tim Diakoni, apakah pelayanan yang kita lakukan ini sanggup membuat hati-Nya terharu? Apakah yang kita persembahkan ke dalam “peti persembahan” kepada Sang Sumber Rahmat? Layakkah kita mempersembahkan diri kita untuk melayani-Nya sebagai bagian dari tim diakoni di gereja?

Demikianlah juga Paulus menasehatkan jemaat di Korintus supaya hidup dalam pelayanan kasih. “Maka sekarang, sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu, - dalam iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasihmu terhadap kami – demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini,” (2 Kor. 8:7).

Mari kita renungkan dan maknai kembali setiap peristiwa yang kita miliki selama kita masih hidup di dunia ini. Tak ada kebahagiaan yang lebih bermakna daripada menemukan rahasia Ilahi sekalipun dibalik setiap krisis yang kita alami. Itulah yang ditemukan oleh seorang janda miskin. Sekalipun ia miskin dan sengsara, tetapi ia menemukan Kasih Ilahi dalam kehidupannya. Mari kita temukan hal itu dalam persembahan yang kita berikan dalam pelayanan kasih kita di Gereja – dalam bentuk apapun itu – dan  semoga pelayanan itu menjadi berkenan kepada-Nya. Selamat ber-diakoni.  

No comments:

Post a Comment

TUHAN MENDENGARKAN SERUAN ORANG PERCAYA

PENDAHULUAN Saudara/i yang terkasih, kita bersyukur atas kasih dan penyertaan Tuhan karena kita masih bisa beribadah bersama pada ming...